Sabtu, 10 April 2010

Arah Politik Partai Golkar

http://pkn.upi.edu/?page_id=704


Opini


Oleh KARIM SURYADI

PARTAI Golkar memilih Aburizal Bakrie sebagai nakhodanya untuk lima tahun ke depan. Apa makna kemenangan ini bagi Partai Golkar dan bagaimana arah politik partai berlambang pohon beringin ini ke depan ?

Kemenangan Aburizal Bakrie dan maknanya bagi Partai Golkar ditentukan oleh tiga faktor, yakni citra Partai Golkar yang terbentuk selama ini, posisi Partai Golkar dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014, dan langkah politik Aburizal Bakrie dalam menyatukan unsur-unsur partai yang tercecer kepada kekuatan lain.

Beban yang dipikul Aburizal Bakrie tidak ringan. Dukungan terhadap partai terus merosot. Dalam Pemilu 2009, Partai Golkar kalah dalam pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan kehilangan sejumlah kursi kepala daerah di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi kantong suara Partai Golkar. Bagi sebagian besar rakyat, kemenangan Aburizal Bakrie mencuatkan pertanyaan, apakah Partai Golkar akan mengukuhkan dukungannya kepada penguasa dan pengusaha, atau menegaskan keberpihakannya kepada rakyat kecil dan ekonomi kerakyatan?

Telah hampir empat puluh tahun imaji tentang Partai Golkar dibentuk dan dilekatkan kepada memori publik. Selama itu pula Partai Golkar merapat kepada penguasa.

Partai Golkar tidak bisa tetap adem ayem menyikapi masalah-masalah yang menguras air mata rakyat, sebab rakyat pun tidak bisa lagi diam menunggu. Partai Golkar harus mengambil langkah cepat dan akurat dalam menangani setiap kejadian, sebab pertarungan yang sesungguhnya adalah merebut simpati dan dukungan publik.

Harapan ini bukan isapan jempol belaka, sebab Partai Golkar memiliki sumber daya dan dana untuk menggerakkan kekuatannya dalam merespon secara cepat gempa di Jawa Barat dan Sumatra Barat, memajukan solusi yang adil bagi penyelesaian lumpur Lapindo, dan mendorong penyelesaian kasus Bank Century. Kampanye lewat pelayanan sosial harus lebih dikedepankan ketimbang retorika dan jualan kata-kata.

Kekalahan beruntun menggeser Partai Golkar dari arus utama kekuasaan, padahal Partai Golkar terbiasa berada dalam mainstream labirin politik nasional. Pergeseran ini sejatinya menuntut kader untuk segera melakukan transformasi kesadaran diri, bahwa Partai Golkar hari ini tidak sama dan sebangun dengan Golkar pada masa Orde Baru. Modal dukungan yang dimiliki Partai Golkar tidak memadai untuk mengendalikan pemerintahan, karena itu pilihannya menjadi bagian darinya, atau berdiri di luar dan menjadi penyeimbang (untuk tidak mengatakan sebagai oposisi).

Pilihan terakhir bukan perkara mudah, baik bagi Partai Golkar maupun partai lain. Madu kekuasaan lebih memabukkan ketimbang pilihan menjadi kekuatan oposisi. Tengok Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, godaan kursi ketua MPR telah merontokkan slogan partai oposisi, yang selama lima tahun terakhir digembor-gemborkan partai berlambang kepala banteng bermoncong putih ini.

Apakah Aburizal Bakrie akan melanjutkan jejak Jusuf Kalla yang menempatkan Partai Golkar sebagai bagian dari pemerintahan Yudhoyono atau menarik keluar dan berdiri tanpa menempatkan kadernya sebagai menteri?

Bila pilihan pertama yang diambil Aburizal Bakrie sesungguhnya secara politik ia tidak menggantikan JK melainkan hanya melanjutkan saja dengan kekuatan amunisi makin menipis. Dikatakan menipis karena kini Partai Golkar kehilangan jabatan wapres, dengan kalkulasi jumlah kursi kementrian yang belum pasti. Pilihan ke arah ini sudah jelas, dengan jaring koalisi besar pengaruh Yudhoyono menguasai lebih kurang 90 persen kekuatan di parlemen. Pilihan ini sebenarnya bukan hanya merugikan Partai Golkar, tetapi juga merisaukan rakyat banyak. Kekuasaan berada pada titik kritis tanpa kekuatan penyeimbang yang memadai.

Namun, pilihan untuk berdiri di luar pemerintahan dengan tidak menempatkan kadernya sebagai menteri pun bukan pilihan mudah. Selain akan menghadapi restriksi dari sebagian kader, juga bisa jadi Partai Golkar makin surut dari memori publik. Maklum kultur politik yang dominan dalam masyarakat kita adalah melekatkan struktur kepada person, melekatkan jabatan kepada orang, sederhananya menitipkan bendera partai kepada bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden.

Tidak kalah penting adalah membaca sikap politik yang akan diambil Aburizal Bakrie terhadap kekuatan-kekuatan yang selama ini mendukung Surya Paloh. Bila Aburizal Bakrie memilih zero sum game, politik bumi hangus dengan tidak mengajak dan melibatkan eksponen pendukung Surya Paloh dalam kepengurusan Partai Golkar, hijrah kader Partai Golkar ke partai lain akan terjadi. Dan bila ini benar-benar terjadi, Partai Golkar akan makin kerempeng akibat ditinggal pergi kader-kadernya.

Mungkin Aburizal Bakrie bisa belajar dari Akbar Tanjung, yang ketika terpilih dalam Munaslub mengajak kekuatan yang semula mendukung Edi Sudrajat untuk bergabung. Tidak boleh dilupakan, kekalahan beruntun Partai Golkar juga karena makin banyak kader terbaik Partai Golkar yang berkiprah di partai lain.

Merebut hati dan simpati publik tidak semudah mengendalikan opini publik dan mencitrakan diri sebagai partai yang siap kembali berjaya. Kejayaan partai bergantung sepenuhnya kepada dukungan nyata pemilih. Oleh karena itu, ujian sesungguhnya adalah mampukah Aburizal Bakrie membawa Partai Golkar merebut kepercayaan publik (public trust) di tengah-tengah altar kekuasaan yang ditopang single majority yang kian hegemonik.***

Penulis, dosen dan peneliti komunikasi politik pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar