Jumat, 07 Mei 2010

Boediono: Demokrasi Tak Jamin Ciptakan Masyarakat yang Sempurna

Irwan Nugroho - detikNewsJakarta

Wakil Presiden Boediono mengatakan, sistem demokrasi tidak akan bisa menjamin terwujudnya masyarakat yang sempurna. Demokrasi justru adalah suatu sistem yang mengasumsikan selamanya masyarakat tidak akan sempurna.

"Karena itu adalah kodrat manusia. Tetapi dalam ketidaksempurnaannya, dengan demokrasi, masyarakat dapat diperbaiki terus menerus," kata Boediono saat memberikan kuliah umumnya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (3/4/2010).

Menurut Boediono, demokrasi hanyalah sistem yang terbaik dibanding sistem lain yang pernah dicoba manusia. Ia mengutip pendapat Winston Churchill untuk soal itu,

"It has been said that democracy is the worst from of government except all the others that have been tried,"

"Dalam ketidaksempurnaan dirinya, ada sesuatu yang dapat diandalkan dari demokrasi. Sesuatu itu adalah kemampuan adaptifnya. Terutama dengan media yang bebas, pemilihan umum, tersedia peralatan dan metode korektif untuk memperbaiki apa yang kurang dan cacat dengan cara yang damai dan teratur," tegasnya.

Di Indonesia, menurut Boediono, upaya pembangunan demokrasi adalah yang kedua sejak kemerdekaan. Pertama kalinya, pembangunan sistem politik tersebut dilakukan antara 1945-1958 dan kemudian era demokrasi terpimpin.

Ia melanjutkan, sejauh ini dunia menilai Indonesia adalah contoh demokrasi yang sukses. Memang ada yang meragukan keberlangsungan demokrasi itu di tanah air tidak akan lama karena faktor perekonomian. Bahkan ada yang memprediksi, euforia demokrasi era modern ini hanya akan bertahan 18 tahun saja. Namun, menurutnya, pendapat itu tidak sepenuhnya tepat.

"Pertama, karena ada negara seperti India yang bukan termasuk kaya, namun demokrasinya bertahan sampai sekarang, meskipun ada interupsi dan kekurangan di dalamnya," ucapnya.

Kedua, lanjut mantan Gubernur BI itu, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat meningkatkan pendapatan per kapita penduduk. Ketiga, faktor peran para pelaku politik juga cukup menentukan keberlangsungan demokrasi itu dengan cita-cita dan tekad mereka.

"Yang perlu kita ingat, membangun demokrasi adalah jalan panjang, bahkan sangat panjang. Dan jalan itu tidak akan selalu mulus dan penuh risiko," pungkasnya.

(irw/mok)


GRATIS kaos cantik dan voucher pulsa! ikuti sms berlangganannya, ktk REG DETIK kirim ke 3845 (Telkomsel, Indosat, Three)

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!

http://www.detiknews.com/read/2010/05/03/163115/1350300/10/boediono-demokrasi-tak-jamin-ciptakan-masyarakat-yang-sempurna

Sabtu, 10 April 2010

PERMASALAHAN YANG TIMBUL DARI PILKADA 5005

( Tugas dari “Mata kuliah kewarganegaraan" )
STMIK GANESHA



Di susun oleh :
Nama : Deki Ramdani
NIM : 2209004
Jurusan : Sistem Informasi
Jenjang : S1
Angkatan : 2009/2010

BAB I
PENDAHULUAN

Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang dilaksakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ini terlihat dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun masih terdapat masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat dikatakan suses.
Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan peminpin daerahnya menurut hati nuraninya sendiri. Tidak seperti tahun tahun yang dahulu yang menggunakan perwakilan dari partai. Namun dalam pelaksanaan pilkada ini muncul penyimpangan penyimpangan. Mulai dari masalah administrasi bakal calon sampai dengan yang berhubungan dengan pemilih.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Landasan Hukum Pilkada
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat. Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat ) diikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas pemilu. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan UUD ’45 sehingga sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan
Indonesia pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.









B. Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada
Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.






C. Solusi
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :
1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.
4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri

BAB III
KESIMPULAN

Bangsa yang belajar adalah bangsa yang setiap waktu berbenah diri. Pemerintah Indonesia telah berusaha membenahi sistem yang telah dengan landasan untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Walaupun dalam pelaksanaan pilkada ini masih ditemui berbagai macam permasalhan tetapi ini semua wajar karena indonesia baru menghadapi ini pertama kalinya setelah pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakilnya. Ini semua dapat digunakan untuk pembelajaran politik masyarakat. Sehingga masyarakat dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi, menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapai sesuatu. Manusia yang baik tidak akan melakukan kesalahan yang pernah dilakukan. Semoga untuk pemilihan umum yang berikutnya permasalah yang timbul dapat diminimalkan. Sehingga pemilihan umum dapar berjalan dengan lancar.







DAFTAR PUSTAKA

1. Abraham Panumbangan (mahasiswa fisipol UMY).Masih perlu waktu. www.kr.co.id edisi Jum’at, 15 Juli 2005
2. Hasan Shadily, dkk.1973. Ensiklopedi Umum . Jakarta: Yayasan Dana Buku Franklin Jakarta.
3. M. Ma’ruf (Mentri Dalam Negeri).Optimisme hadapi pilkada langsung. www.kompas.com edisi selasa, 22 Februari 2005
4. Redaksi Kompas. APBN-P 2005 Bantu Rp 464,9 Miliar . www.kompas.com edisi Rabu, 30 Maret 2005
5. Suardi Abubakar, dkk. 2000. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 SMU.Jakarta: Yudhistira.



http://www.lprasaja.web.ugm.ac.id/files/MAKALAH%20PENDIDIKAN%20KEWARGANEGARAAN.doc

CATATAN BAGI UU KEWARGANEGARAAN RI YANG BARU

http://www.indonesiamedia.com/2006/08/mid/opini/catatan.html

Oleh : Tan Swie Ling
Setelah melalui perjalanan yang tak singkat, akhirnya penantian pengesahan RUU kewarganegaraan pengganti UU kewarganegraaan No 62/1958 berakhir. Tanggal 11 Juli 2006 yang baru lalu seluruh Fraksi di DPR menyetujui disahkanya RUU tersebut menjadi UU Kewarganegaraan yang baru.

Khususnya kepada Ketua Pansus RUU KRI Slamet Effendi Yusuf, yang penulis kenal komitmennya menghapus diskriminasi sejak beliau berperan sebagai Wakil Ketua PAH I MPR, yang secara positif menyambut aspirasi warga masyarakat korban istilah “asli dan tidak asli” yang meminta diamendemennya pasal 6 UUD 1945, yang penulis dan kawan-kawan ajukan dalam SU MPR Tahunan di tahun 2000. Juga tentunya tidak ketinggalan, kepada Ketua Pokja RUU KRI, Murdaya Poo, yang telah berjuang secara total bagi lahirnya sebuah UU KRI yang baik di republik ini.
Sebuah UU KRI yang oleh Presiden SBY dinilai sebagai sebuah Karya Monumental Anak Bangsa.. Suatu hal yang membuat sangat wajar kalau Bapak Slamet Efendi Yusuf, Bapak Murdaya Poo, serta semua pihak yang terlibat membidani lahirnya UU KRI yang baru merasa bangga dan gembira atas karyanya. Dalam pada itu penulis dalam kesertaan rasa bangga dan gembira atas lahirnya UU KRI, tak ingin melewatkan kesempatan untuk menyampaikan beberapa catatan atas UU KRI yang baru ini sebagai berikut:
RAS – BANGSA - WARGANEGARA
Terlebih dahulu penulis ingin mengajak semua pihak meyakini bahwa, di republik muda seperti Indonesia ini,UU apapun tidak terkecuali UU Kewarganegaraan, dari awal proses kelahirannya, kemudian keberadaannya dan berikut praktek pelaksanaannya, selalu sepenuhnya berada dalam genggaman kehendak dan perilaku politik. Jadi, hendaknya keberadaan UU KRI baru yang menggantikan UU KRI 62/1958 ini jangan dipandang jauh dari kaca mata politik.
Pandanglah sebagai buah dari atmosfir era reformasi. Dan kalau kita membenarkan pendapat bahwa reformasi ini belumlah merupakan sebuah era yang stabil atau mantap. maka dengan itu berarti kita mengakui era reformasi ini masih dipenuhi kentalnya nuansa pro dan kontra dalam segala bidang, tidak terkecuali bidang yang pro dan yang kontra diskriminasi.
Dalam kaitan ini janganlah kita terlalu yakin dengan UU KRI baru ini, seolah praktek diskriminasi yang sebelumnya mengambil bentuk pemberlakuan SBKRI akan serta merta lenyap. Mengingat “kata bukti kewarganegaraan” yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi setan yang terus menerus menghantui komunitas Tionghoa di negeri ini justru tegas-tegas diformalkan dalam pasal 18 UU KRI yang baru ini. Sudah tentu sepanjang kita meyakini keberlakuan sebuah UU sepenuhnya bergantung pada kondisi politik yang berlaku, kita tidak perlu berkecil hati.

Mengingat letak persoalannya pada baik buruknya kondisi kehidupan politik. Jadi kalau kita menghendaki pasal UU yang tidak baik menjadi kurang baik, dan pasal UU yang baik menjadi lebih baik, maka persoalannya tinggal bagaimana kita selalu terlibat terus menerus memperkuat tumbuhnya iklim demokratisasi di negeri ini Oleh sebab itu, hendaknya kebanggaan dan kegembiraan atas UU KRI yang baru, janganlah menjadi kebanggaan dan kegembiraan total tanpa reserve. Karena dalam kaitan dengan diskriminasi yang disandang komunitas etnik Tionghoa di negeri ini tercermin nyata, di samping kenyataan tumbuh menguatnya semangat anti diskriminasi di dalam Pansus RUU Kewarganegaraan, toh sekaligus tercermin pula masih kuatnya kehendak ingin melanggengkan diskriminasi.

Faktanya adalah adanya pencampuradukan pengertian tentang ras – bangsa – warganegara - yang berakibat berperan memfasilitasi keberadaannya butir a pasal 4 BAB II , yang berunyi: Warga Negara Indonesia adalah: “setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia” dan pasal 2 BAB I yang berbunyi: “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara”.

Rumusan atas hal yang sama ke dalam dua Pasal dan dua BAB yang berbeda, jelas mencerminkan adanya tarik-menarik dua semangat atau kekuatan politik di dalam Pansus RUU KRI antara yang pro dan kontra terhadap masalah diskriminasi dalam proses pembuatan UU KRI yang baru ini. Sekaligus juga merupakan cermin gagalnya tugas kekuatan anti diskriminasi di dalam Pansus RUU Kewarganegaraan untuk menjernihkan kerancuan pemahaman masalah ras, bangsa, dan warga negara.

Bahwa sesungguhnya bagi siapapun yang tidak berkepentingan melestarikan praktik diskriminasi, niscaya cakrawala pandangnya akan jernih. Bahwa Bangsa dan Warga Negara bukanlah hal yang identik. Ketidakidentikan yang faktanya mudah dilihat pada kenyataan. Bahwa siapa pun orang yang menghendaki, yang bersangkutan bisa mengganti kewarganegaraan dirinya, akan tetapi tidak mungkin bisa mengganti kebangsaan dirinya. Di samping kenyataan, bahwa sebuah bangsa yang sama bisa menganut kewarganegaraan dua negara yang berbeda.

Seperti bangsa Jerman sebelum runtuhnya Tembok Berlin. Ada yang menjadi Warga Negara Jerman Barat di samping ada yang memilih jadi Warga Negara Jerman Timur.Demikian pula dengan sesama bangsa Korea. Ada yang memilih jadi Warga Negara Korea Selatan, di samping ada pula yang memilih menjadi Warga Negara Korea Utara. Hal yang jelas sekali menerangkan, bahwa memotivasi pertanyaan tentang apa dasarnya perumusan Pasal 2 BAB I dimaksud?
End Part 1
Start Part 2
MASALAH RAS DAN BANGSA
Ras adalah pengertian tentang ciri-ciri fisik sebuah komunitas manusia. Hal yang berkait dengan masalah genetika. Sehingga lebih merupakan bidang masalah antropologi, yang memang berkorelasi dengan pengertian asli dan tidak asli. Sedang bangsa Indonesia bukanlah ras Indonesia. Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang terintegrasikan oleh akibat kolonialisme.Sebuah gabungan atau persatuan semua suku/etnik yang menghuni seluruh wilayah administrasi bekas jajahan Belanda. Jadi bangsa Indonesia adalah pengertian sosiologis, yang kelahirannya pun lebih karena sebab faktor kebangkitan nasionalisme. Yaitu semangat membangun atau mempersatukan diri menjadi sebuah bangsa yang bertujuan agar bisa mengatur dan mengurus diri sendiri bebas dari campur tangan mandor asing mana pun juga. Jadi dalam kaitan ini tidak dikenal adanya paradigma bangsa Indonesia asli. Sehingga, keberadaan Pasal 2 BAB I yang berbunyi : ”Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan seterusnya…. adalah jelas cerminan kemenangan kekuatan politik/semangat diskriminatif di dalam Pansus RUU Kewarganegaraan.
Sementara hasil perjuangan mati-matian kekuatan politik/semangat anti diskriminasi berkaitan dengan pasal ini adalah pasal 2 penjelasan, yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘bangsa Indonesia asli’ adalah orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Pasal penjelasan yang merupakan bentuk kompromi atas kalimat “bangsa Indonesia asli” dari kekuatan politik/semangat yang pro dan kontra diskriminasi yang terdapat di dalam Pansus RUU Kewarganegaraan. Bahwa sekalipun semangat/kekuatan politik anti diskriminasi tidak berhasil menghapus kalimat “bangsa Indonesia asli” dari UU KRI yang baru, namun melalui pasal penjelasannya berhasil juga mengeliminir semangat diskriminatif dari kalimat “bangsa Indonesia asli” yang rancu tersebut.

Catatan berikutnya bertalian dengan BAB IV yang mengatur kehilangan kewarganegaraan RI. Sebagai akibat bunyi butir 2 pasal 1 BAB I tentang ketentuan umum bahwa, “Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warganegara” bukan seyogianya berbunyi bahwa: “ Kewarganegaraan adalah pengaturan hubungan timbal-balik hak dan kewajiban politik antara negara dengan warganya”, maka lahirlah butir i pasal 23 BAB IV ini. Pasal yang mengatur seseorang kehilangan kewarganegaraan Indonesianya bukan oleh sebab perbuatan politik yang dilakukannya.

Seperti diatur Pasal 23 BAB IV butir g yang berbunyi :”tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing. Atau memasuki dinas militer asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal dan bab yang sama butir d. Atau hijrah ke negara asing untuk melakukan kegiatan melawan pemerintahan RI yang sah. Melainkan semata-mata hanya oleh sebab yang bersangkutan bertempat tinggal di luar wilayah RI selama 5 tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum waktu lima tahun itu berakhir.

Sepertinya pasal ini memposisikan semua WNI yang berada di luar wilayah RI semuanya orang yang paham peratruran kewarganegaraan sekaligus orang yang memiliki keleluasaan baik waktu maupun materi, sehingga tidak seharusnya lalai. Padahal tidak sedikit WNI berada di negeri asing, jauh dari dukungan kondisi semacam itu. Contohnya mereka yang demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, terpaksa menjadi TKI/TKW yang tentunya jauh dari memiliki keleluasaan waktu maupun materi yang merupakan kendala bagi yang bersangkutan untuk dituntut bisa memenuhi ketentuan pasal ini.

Dalam pada itu, bandingkanlah ketentuan yang diatur Pasal 23 BAB IV butir i tersebut dengan kenyataan WNI yang sengaja hijrah ke negeri asing justru dengan maksud sepenuhnya untuk mengamankan dan meleluasakan kegiatan politiknya merongrong pemerintahan RI yang sah selama lebih dari lima tahun, seperti yang terjadi dengan Hasan Tiro, dkk. yang tergabung dalam apa yang mereka sebut dengan GAM. Apakah mereka tidak kehilangan kewarganegaraannya? Lalu pasal manakah dalam UU KRI yang baru ini yang disediakan untuk memberi jalan dalam hal mereka menghendaki memperoleh kembali kewarganegaraan RI? Apakah Pasal 31 BAB V tentang Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI yang berbunyi: “Seorang yang kehilangan Kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui prosedur pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 s/d Pasal 18 dan Pasal 22”?

Kalau ya, lalu bagaimana dengan kenyataan bahwa selekas ditandatanganinya MoU antara GAM dengan wakil RI, seluruh hak politik, hak hukum dan berbagai hak lainnya nyatanya serta merta semuanya telah pulih? Sementara itu sebanyak 532 mantan mahasiswa yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia akibat peristiwa 30 September 1965, yang melalui Rustriningsih, Bupati Kebumen, yang mewakili segala kepentingan mereka, kini sedang berupaya mengajukan upaya memperoleh kembali kewarganegaraan RI-nya (Media Indonesia, 14 Juli 2006) Lalu seperti apa UU KRI baru akan memperlakukan mereka? Akan dikenakan ketentuan yang diatur pasal 31 tersebut di atas, atau akan memperoleh perlakuan yang sama seperti yang diperoleh saudara-saudara kita yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka?

Semoga UU KRI yang baru dalam praktek pelaksanaannya nanti tidak mengulang perilaku UU KRI 62/1958 yang melanggar pasal 27 UUD 1945 yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga Negara Indonesia. Dimulai dengan perlakuan yang sama antara sesama warga negara yang sama-sama kehilangan kewarganegaraan RI karena faktor politik antara mereka yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka dengan mereka yang diduga terlibat peristiwa 30 September 1965.

Arah Politik Partai Golkar

http://pkn.upi.edu/?page_id=704


Opini


Oleh KARIM SURYADI

PARTAI Golkar memilih Aburizal Bakrie sebagai nakhodanya untuk lima tahun ke depan. Apa makna kemenangan ini bagi Partai Golkar dan bagaimana arah politik partai berlambang pohon beringin ini ke depan ?

Kemenangan Aburizal Bakrie dan maknanya bagi Partai Golkar ditentukan oleh tiga faktor, yakni citra Partai Golkar yang terbentuk selama ini, posisi Partai Golkar dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014, dan langkah politik Aburizal Bakrie dalam menyatukan unsur-unsur partai yang tercecer kepada kekuatan lain.

Beban yang dipikul Aburizal Bakrie tidak ringan. Dukungan terhadap partai terus merosot. Dalam Pemilu 2009, Partai Golkar kalah dalam pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan kehilangan sejumlah kursi kepala daerah di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi kantong suara Partai Golkar. Bagi sebagian besar rakyat, kemenangan Aburizal Bakrie mencuatkan pertanyaan, apakah Partai Golkar akan mengukuhkan dukungannya kepada penguasa dan pengusaha, atau menegaskan keberpihakannya kepada rakyat kecil dan ekonomi kerakyatan?

Telah hampir empat puluh tahun imaji tentang Partai Golkar dibentuk dan dilekatkan kepada memori publik. Selama itu pula Partai Golkar merapat kepada penguasa.

Partai Golkar tidak bisa tetap adem ayem menyikapi masalah-masalah yang menguras air mata rakyat, sebab rakyat pun tidak bisa lagi diam menunggu. Partai Golkar harus mengambil langkah cepat dan akurat dalam menangani setiap kejadian, sebab pertarungan yang sesungguhnya adalah merebut simpati dan dukungan publik.

Harapan ini bukan isapan jempol belaka, sebab Partai Golkar memiliki sumber daya dan dana untuk menggerakkan kekuatannya dalam merespon secara cepat gempa di Jawa Barat dan Sumatra Barat, memajukan solusi yang adil bagi penyelesaian lumpur Lapindo, dan mendorong penyelesaian kasus Bank Century. Kampanye lewat pelayanan sosial harus lebih dikedepankan ketimbang retorika dan jualan kata-kata.

Kekalahan beruntun menggeser Partai Golkar dari arus utama kekuasaan, padahal Partai Golkar terbiasa berada dalam mainstream labirin politik nasional. Pergeseran ini sejatinya menuntut kader untuk segera melakukan transformasi kesadaran diri, bahwa Partai Golkar hari ini tidak sama dan sebangun dengan Golkar pada masa Orde Baru. Modal dukungan yang dimiliki Partai Golkar tidak memadai untuk mengendalikan pemerintahan, karena itu pilihannya menjadi bagian darinya, atau berdiri di luar dan menjadi penyeimbang (untuk tidak mengatakan sebagai oposisi).

Pilihan terakhir bukan perkara mudah, baik bagi Partai Golkar maupun partai lain. Madu kekuasaan lebih memabukkan ketimbang pilihan menjadi kekuatan oposisi. Tengok Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, godaan kursi ketua MPR telah merontokkan slogan partai oposisi, yang selama lima tahun terakhir digembor-gemborkan partai berlambang kepala banteng bermoncong putih ini.

Apakah Aburizal Bakrie akan melanjutkan jejak Jusuf Kalla yang menempatkan Partai Golkar sebagai bagian dari pemerintahan Yudhoyono atau menarik keluar dan berdiri tanpa menempatkan kadernya sebagai menteri?

Bila pilihan pertama yang diambil Aburizal Bakrie sesungguhnya secara politik ia tidak menggantikan JK melainkan hanya melanjutkan saja dengan kekuatan amunisi makin menipis. Dikatakan menipis karena kini Partai Golkar kehilangan jabatan wapres, dengan kalkulasi jumlah kursi kementrian yang belum pasti. Pilihan ke arah ini sudah jelas, dengan jaring koalisi besar pengaruh Yudhoyono menguasai lebih kurang 90 persen kekuatan di parlemen. Pilihan ini sebenarnya bukan hanya merugikan Partai Golkar, tetapi juga merisaukan rakyat banyak. Kekuasaan berada pada titik kritis tanpa kekuatan penyeimbang yang memadai.

Namun, pilihan untuk berdiri di luar pemerintahan dengan tidak menempatkan kadernya sebagai menteri pun bukan pilihan mudah. Selain akan menghadapi restriksi dari sebagian kader, juga bisa jadi Partai Golkar makin surut dari memori publik. Maklum kultur politik yang dominan dalam masyarakat kita adalah melekatkan struktur kepada person, melekatkan jabatan kepada orang, sederhananya menitipkan bendera partai kepada bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden.

Tidak kalah penting adalah membaca sikap politik yang akan diambil Aburizal Bakrie terhadap kekuatan-kekuatan yang selama ini mendukung Surya Paloh. Bila Aburizal Bakrie memilih zero sum game, politik bumi hangus dengan tidak mengajak dan melibatkan eksponen pendukung Surya Paloh dalam kepengurusan Partai Golkar, hijrah kader Partai Golkar ke partai lain akan terjadi. Dan bila ini benar-benar terjadi, Partai Golkar akan makin kerempeng akibat ditinggal pergi kader-kadernya.

Mungkin Aburizal Bakrie bisa belajar dari Akbar Tanjung, yang ketika terpilih dalam Munaslub mengajak kekuatan yang semula mendukung Edi Sudrajat untuk bergabung. Tidak boleh dilupakan, kekalahan beruntun Partai Golkar juga karena makin banyak kader terbaik Partai Golkar yang berkiprah di partai lain.

Merebut hati dan simpati publik tidak semudah mengendalikan opini publik dan mencitrakan diri sebagai partai yang siap kembali berjaya. Kejayaan partai bergantung sepenuhnya kepada dukungan nyata pemilih. Oleh karena itu, ujian sesungguhnya adalah mampukah Aburizal Bakrie membawa Partai Golkar merebut kepercayaan publik (public trust) di tengah-tengah altar kekuasaan yang ditopang single majority yang kian hegemonik.***

Penulis, dosen dan peneliti komunikasi politik pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Kewarganegaraan Tidak Berdasar


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0602/14/opi01.html

Rata Penuh
”Ras-Criterium”

Oleh
Prasetyadji

Diangkatnya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang merupakan inisiatif DPR tentang Kewarganegaraan (sebagai pengganti UU yang lama No 62/1958) dalam program legislasi tahun ini, telah membawa harapan banyak orang kepada para anggota dewan yang terhormat.
Kenapa? Karena UU No 62/1958 dinilai mengandung unsur diskriminatif, tidak mewadahi kesetaraan hak baik dari sisi gender, etnik, maupun dalam perlindungan hukum terhadap anak. Selain itu, substansi mengenai kewarganegaraan itu sendiri, perlu menghadirkan kembali suasana kebathinan para founding fathers dalam merumuskan UU tentang Kewarganegaraan pertama kali No 3/1946 sebagai salah satu syarat berdirinya negara Republik Indonesia.
Pembahasan RUU sudah dimulai antara Pansus DPR dengan Menteri Hukum dan HAM tanggal 25 Januari 2006. Dan melihat aspirasi masyarakat yang begitu antusias, para anggota DPR kiranya perlu selalu berpegang pada produk UU yang telah kita miliki, seperti UU No 39/1999 tentang HAM maupun UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, karena ada beberapa permasalahan prinsip yang perlu jadi acuan, seperti perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan antarbangsa.

Istilah Asli
Artinya, agar dalam RUU dapat diatur bahwa anak yang lahir (di manapun) dari pernikahan seorang ayah dan/atau ibu warga negara Indonesia adalah warga negara Indonesia, begitu pula terhadap setiap orang yang lahir di wilayah Indonesia, yang setelah dewasa (berusia 18 tahun) wajib menentukan sendiri kewarganegaraannya.
Hal ini sejalan dengan Pasal 5 UU Perlindungan Anak No 23/2002 yang secara tegas menyatakan ”setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”; demikian pula Pasal 14 dikatakan bahwa ”setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.
Masalah ini sungguh penting, karena menyangkut nasionalisme, harga diri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, sehingga jangan sampai darah daging dari seorang warga negara Indonesia menjadi warga negara asing di negara sendiri. Dan apabila ini terjadi, berarti tidak ada kesetaraan terhadap gender di republik ini.
Sebagai bangsa yang memiliki budaya dan sejarah perjuangan dalam mencapai kemerdekaan, maka RUU ini perlu memberikan penghargaan kepada para pendiri bangsa dengan tidak melupakan kemajemukannya sebagaimana memahami suasana kejiwaan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Untuk itu, terkait dengan desakan dari berbagai pihak agar dihilangkannya istilah asli dalam pengertian siapa warga negara pada RUU Kewarganegaraan tersebut perlu mendapat perhatian bersama.
Karena dalam perkembangannya, istilah asli sudah bergeser pada konotasi diskriminasi, berbagai perilaku termasuk penyelenggara negara pun memberikan konotasi rasis.
Nilai Moral
Desakan ini tentu bukan tanpa alasan, tetapi justru mengingatkan kembali kepada suasana kebathinan dalam sidang BPUPKI ketika Soemitro Kolopaking dan anggota lainnya keberatan dicantumkannya istilah asli dalam UU tentang Kewarganegaraan yang pertama kali No 3/1946 apabila tujuannya pendekatan rasis, karena yang duduk di Badan/Panitia adalah sesama Nederlandsch Onderdaan (Kaula-negara Belanda) sesuai kedudukan hukum yang berlaku ketika itu. Dengan demikian, dalam Penjelasan UU No 3/1946 ditegaskan bahwa, ”dalam UU ini (UU No 3/1946) sama sekali tidak berdasar atas ras-criterium”.
Atas dasar pemikiran tersebut, dalam pembahasan-pembahasan ke depan, para pihak diharapkan mau mengedepankan nilai-nilai moral dan mampu menjiwai semangat nasionalisme, agar RUU ini benar-benar memberi kesetaraan dan perlidungan hukum kepada sesama warga negara Indonesia.

Penulis adalah Sekretaris DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangs, anggota Koalisi Kewarganegaraan

Kerinduan Pak Tua (ex Warga Indonesia di Rusia) ?

http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2008/06/26/opini-kerinduan-pak-tua-ex-warga-indonesia-di-rusia/
Opini
Posted by qnoyzone in humanis, politikitikin.
Tags: eks warga ri renta di rusia, gatra, hamid awaludin, opini
trackback
sumber: gatra.com — Virginia Rose (Gina) dan Abraham Lincoln (Aam), dua anak muda Parepare, kini merantau ke Rusia. Keduanya mengelana ke negeri nun di ufuk barat bumi, mengejar ilmu dan kebajikan. Dan sore itu, keduanya berjalan mengitari kota tua yang eksotis itu dan mampir di Gorky Park, taman di sisi Sungai Moskow yang terkenal.
Di Gorky Park yang menjadi arena bagi seniman Moskow menampilkan karya-karya mereka, Gina dan Aam berbaur dengan para wisatawan. Di dekat sebuah galeri lukisan jalanan, keduanya tertegun melihat seorang lelaki tua yang wajahnya teramat Melayu. Pak Tua ini juga menatap mereka. Hanya saja, Gina dan Aam tidak berani langsung menyapa, khawatir jika Pak Tua itu bukan orang Indonesia.
Tapi keraguan mereka sirna. “Anak berdua dari Indonesia?” tanya Pak Tua itu. Senyum Gina dan Aam langsung merekah. Mereka mengangguk, lalu memperkenalkan diri. “Nama saya Ambo Upe. Saya sudah hampir 50 tahun di sini,” katanya. Saking gembiranya, Pak Tua yang telah berusia 75 tahun itu mengajak mereka berjalan menyusur Gorky Park dengan setengah menyeret badan.
Pak Ambo lantas bercerita. Ia datang ke Moskow setengah abad silam untuk bersekolah. Tapi ia kemudian jatuh cinta pada warga setempat dan menikah. Jadilah ia menetap di ibu kota Rusia itu, bahkan belakangan menjadi warga negara setempat. Istrinya telah meninggal, beberapa tahun silam. Ia sendiri tak pernah pulang ke Indonesia.
Kerinduannya pada negeri leluhur hanya ia lampiaskan dengan berkirim surat kepada kerabat di Tanah Air. Tapi kini, kerabat-kerabat sebayanya sudah berpulang. Putus sudah hubungannya ke Indonesia. Karena itulah, ia begitu girang bertemu Gina dan Aam. “Kenapa Kakek tidak kembali saja ke Indonesia. Bukankah di sini tidak ada sanak saudara?” tanya Gina yang penasaran.
Pak Tua Ambo hanya menerawang sejenak, lalu menjawab, “Itu memang keinginan terbesar dan terakhir saya. Betapa inginnya menghabiskan hari-hari tua di Indonesia. Tapi di sana, saya mau makan apa? Lagi pula, saya ini orang asing, warga negara Rusia. Tentu tidak mudah berurusan dengan birokrasi di sana, apalagi saya sudah tua. Di sini, hidup saya dijamin negara. Saya menerima uang pensiun dan tunjangan sosial.”
Gina tertegun penuh iba, tapi tak bisa berbuat banyak. Untunglah ada Aam yang menemukan ide –meski tak mudah. Bagi Aam, pengalaman Pak Ambo tentu juga dialami banyak orang Indonesia yang pada saat ini tinggal di berbagai belahan bumi lainnya dan menjadi warga negara asing. “Bapak tidak sendirian. Tapi nasib dan kerinduan Bapak sebenarnya bisa dicarikan jalan keluarnya,” kata Aam.
Kendati telah mengantongi paspor negara baru, sebagai bangsa Indonesia, mereka tetap berharap, suatu saat menghabiskan hari-hari tua di Indonesia. Hanya saja, karena telah lama tercerabut dari kegiatan sosial bangsanya, mereka tak mungkin menanggalkan status WNA dan kembali menjadi warga negara Indonesia. Jika jalan ini yang mereka tempuh, tentu mereka akan sengsara karena tidak lagi berpenghasilan. Sedangkan di negara baru itu, mereka ditunjang oleh negara.
Aam pun teringat, pada saat ini Undang-Undang Keimigrasian hendak dibahas di DPR-RI. Ia mengharapkan, ada satu pasal dalam RUU itu yang kurang lebih mengatakan: untuk orang-orang Indonesia yang telah lama tinggal di luar negeri dan sudah menjadi warga negara asing dan setidak-tidaknya telah berusia 70 tahun, dibolehkan tinggal di Indonesia tanpa batas waktu dan tanpa harus mengubah status kewarganegaraan yang dipegangnya.
Lagi pula, kata Aam, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan membuka diri mengenai orang Indonesia yang telah kehilangan kewarganegaraannya dapat kembali menjadi warga negara tanpa melalui proses naturalisasi.
Pendapat Aam itu didasari tiga hal. Pertama, dari aspek kemanusiaan, Aam tahu benar pemeo hidup manusia yang dianut di banyak tempat di muka bumi: di mana manusia lahir, di situ pula ia cenderung menghabiskan masa tua dan menutup hidupnya.
Kedua, kemudahan bagi orang Indonesia warga negara asing berusia di atas 70 tahun ini membantu mereka untuk melakukan rekonsiliasi dengan keluarga besar yang lama ditinggalkan. Ketiga, dari segi ekonomi tentu menguntungkan karena orang-orang tua ini tetap menerima dana pensiun dan tunjangan sosial dari negaranya, tapi membelanjakannya di Indonesia sepanjang sisa hidupnya.
Selapis air bening tampak menjadi kabut di mata Pak Ambo mendengar uraian Aam. “Mudah-mudahan, Nak. Kalau itu bisa terwujud, sayalah orang tua pertama yang akan memesan tiket ke Indonesia,” katanya.
Pertemuan di Gorky Park itu singkat tapi sungguh membekas, bagi Gina dan Aam, juga bagi Pak Tua Ambo. Setelah berbincang panjang lebar, membagi kerinduan tentang Tanah Air, mereka berpisah. Gina dan Aam kembali berjalan menuju stasiun bawah tanah terdekat. Masih ditolehnya Pak Tua tadi yang menyeret kaki menyusuri Gorky Park di pinggiran Sungai Moskow yang tenang.

Hamid Awaludin
Pemerhati Masalah Hukum
[Kolom, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 26 Juni 2008]

Sosialisasi UU Kewarganegaraan RI Di Belanda

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=1404&Itemid=99999999


ANDI MATTALATTA, Menteri Hukum Dan HAM. Kewarganegaraan Tak Harus Ditawarkan

Sumber : Rakyat Merdeka


JUMAT (19/09) lalu. Menhuk dan HAM Andi Mattalatta bersama tim berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag, Belanda. Maksud kunjungan rombongan Menhuk dan HAM tersebut adalah dalam rangka sosialisasi UU No.l 2 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI.

Dalam acara sosialisasi yang digelar di Aula KBRI Den Haag ini dihadiri warga negara Indonesia yang berdomisili di berbagai kota di Belanda. Acara tersebut dibuka oleh Dubes RI untuk Belanda Junus Effendi Habibie.

Beberapa saat sebelum acara penemuan dimulai, koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A.Supardi Adiwidjaya berkesempatan berbincang-bincang dengan Menhuk dan HAM Andi Mattalatta seputar UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI. Seberapa pentingkah UU tersebut? Berikut penjelasan Andi Mattalatta.

Ada jabatan yang tidak boleh dipegang oleh warga yang pernah menjadi warga negara asing atas kehendak sendiri. Bagaimana bagi mereka yang pernah memiliki kewarganegaraan ganda berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI?

Jabatan yang tertinggi di negara kita adalah presiden. Syarat untuk menjadi presiden itu, antara lain, adalah warga negara Indonesia yang tidak pernah kehilangan kewarganegaraannya karena kehendak sendiri (UUD 1945, Bab III. pasal 6, ayat 1).

Kenapa pasal ini masuk dalam UUD 1945, karena dulu sebelum ada amandemen kan simpel sekali Presiden ialah orang Indonesia asli (lihat UUD 1945 asli sebelum diamandemen. Bab II, pasal 6, ayat 1). Pengertian orang Indonesia asli pada waktu itu konotasinya etnis dan ras.

Setelah perjalanan sekian lama dikonotasikan, kalau berbicara mengenai ras, siapa sih orang yang asli Indonesia itu? Jangan-jangan memang tidak ada "orang asli" itu. Jadi, pendekatannya melalui pendekatan hukum.

Kemudian timbul masalah. Ada perang dunia, ada perang dingin, macam-macamlah. Tidak mustahil, ada orang yang tiba-tiba terkena masalah tertentu, yangmembuatnya tidak bisa pulang ke negerinya.

Di tempat dia berada memerlukan status kewarganegaraan. Terpaksa kewarganegaraannya hilang, bukan karena kemauan-nya sendiri. Orang yang mengalami kejadian seperti ini dan kemudian menjadi warga negara Indonesia kembali bisa jadi presiden di Indonesia.

Dan kalau menjadi presiden Indonesia saja bisa, masak menduduki jabatan lain tidak bisa. Kecuali barangkali jabatan-jabatan yang khusus, seperti jabatan intel, keamanan yang sangat spesifik. Tetapi secara politik, pada dasarnya orang yang pernah memiliki kewarganegaraan asing bukan atas kemauan sendiri tidak masalah.

Berdasarkan UU Kewarganegaraan RI No. 62 Tahun 1958, pencabutan paspor dan kewar-ganegaraan eks-Mahid(eks mahasiswa ikatan dinas) dan "orang-orang yang terhalang pulang" lainnya adalah pelanggaran HAM. Karena itu, dalam proses pengembalian kewarganegaraan mereka seyogyanya ada penegasan dari Pemerintah RI sekarang ini tentang pelanggaran HAM tersebut. Pendapat Anda?

UU No. 12 Tentang Kewarganegaraan RI yang baru ini pendekatannya sebenarnya untuk mengakhiri semua masalah-masalah dasar kenegaraannya, siapa yang menjadi warga negara. Termasuk mengakhiri masalah-masalah kewarganegaraan yang bisa dikaitkan dengan masalah politik dengan orientasi kami ke depan.

Karena itu, UU No. 12 ini lahir hampir bersamaan dengan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di DPR. Cuma sayang, ketika ke Mahkamah Konstitusi, MK membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini.

Karena itu pada saat UU No. 12 Tentang Kewarganegaraan RI Tahun 2006 (yang diberlakukan hingga Agustus 2009) dibuat berdasarkan pikiran kita ke depan, bukan ke belakang.

Alasannya apa?

Ya kita mau membangun negeri ini menyamakan dan menyatukan seluruh potensi bangsa ke depan. Kalau tentang masalah masa lalu, biarlah hukum yang menyelesaikanya.

Apa alasan, MK mencabut

UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi?

Ada banyak alasan. Karena pertimbangannya di situ ada amnesti. Saya bilang juga salah satu masalah kita, karena MK kan seharusnya berfungsi sebagai pengadilan.

Tapi dalam perkembangannya, kadang-kadang juga dia berfungsi sebagai pembuat undang-undang. MK juga membuat undang-undang baru.

Sebagai jalan keluar atau penyelesaian persoalan eks-Mahid dan "orang-orang terhalang pulang" lainnya, pemerintah SBY tampaknya menawarkan UU No.)2 Tahun 2006. Bagaimana penjelasan Anda?

Ya, memang demikian. Hal itu tentu ada persyaratannya. Artinya apa? Harus ada kemauan dari yang bersangkutan.

Kenapa begitu?

Sering kita dikritik di Jakarta. Menjadi warga negara itu dianggap birokratis. Saya bilang, urusan menjadi warga negara itumemang bukan urusan yang ha-rus diiklankan. Misalnya, mau mendirikan PT, mendirikan usaha, mendapatkan izin bangunan, itu memang harus diperebutkan, diiklankan.

Akan tetapi untuk menjadi warga negara, bukan sesuatu yang harus ditawar-tawarkan kepada orang lain. Jadi, yang pertama harus muncul dari yang bersangkutan sendiri.

Masalahnya, mereka itu kan dicabut paspornya. Dalam UU No. 12 Tahun 2006, misalnya menganggap bahwa eks-Mahid dan "orang-orang yang terhalang pulang" itu telah lalai dalam melapor ke KBRI setempat lima tahun berturut-turut adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Penjelasan Anda?

Ya, setiap problem itu kan ada penyelesaiannya. Bisa melalui hukum atau melalui administrasi. Yang ditempuh UU No. 12 ini adalah penyelesaian melalui administrasi.

Kalau mau melalui proses hukum harus meneliti dulu di mana ujung dan pangkalnya. Orang akan memulai dulu pencabutan paspor itu dasarnya apa. Lalu akan dikirim kepada panitera, dan akan masuk ke masalah keterpe-ngaruhan.

Yang tadinya UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI ini mau mendamaikan orang, yang terjadi bukan damai, tapi saling cari kesalahan. Karena saling cari kesalahan, tujuan kita untuk menyatukan energi bangsa untuk kepentingan negara, malah tidak tercapai.

Orang-orang keturunan yang kita tidak tahu kapan mereka datang (masuk) ke Indonesia, yang selama ini mengurus SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) dengan UU No. 12 saja masih kita beri kewarganegaraan RI. Apalagi untuk kawan-kawan kita, yang tadinya warga negara Indonesia, hilang kewarganegaraannya bukan karena kehendak sendiri.