Sabtu, 10 April 2010

CATATAN BAGI UU KEWARGANEGARAAN RI YANG BARU

http://www.indonesiamedia.com/2006/08/mid/opini/catatan.html

Oleh : Tan Swie Ling
Setelah melalui perjalanan yang tak singkat, akhirnya penantian pengesahan RUU kewarganegaraan pengganti UU kewarganegraaan No 62/1958 berakhir. Tanggal 11 Juli 2006 yang baru lalu seluruh Fraksi di DPR menyetujui disahkanya RUU tersebut menjadi UU Kewarganegaraan yang baru.

Khususnya kepada Ketua Pansus RUU KRI Slamet Effendi Yusuf, yang penulis kenal komitmennya menghapus diskriminasi sejak beliau berperan sebagai Wakil Ketua PAH I MPR, yang secara positif menyambut aspirasi warga masyarakat korban istilah “asli dan tidak asli” yang meminta diamendemennya pasal 6 UUD 1945, yang penulis dan kawan-kawan ajukan dalam SU MPR Tahunan di tahun 2000. Juga tentunya tidak ketinggalan, kepada Ketua Pokja RUU KRI, Murdaya Poo, yang telah berjuang secara total bagi lahirnya sebuah UU KRI yang baik di republik ini.
Sebuah UU KRI yang oleh Presiden SBY dinilai sebagai sebuah Karya Monumental Anak Bangsa.. Suatu hal yang membuat sangat wajar kalau Bapak Slamet Efendi Yusuf, Bapak Murdaya Poo, serta semua pihak yang terlibat membidani lahirnya UU KRI yang baru merasa bangga dan gembira atas karyanya. Dalam pada itu penulis dalam kesertaan rasa bangga dan gembira atas lahirnya UU KRI, tak ingin melewatkan kesempatan untuk menyampaikan beberapa catatan atas UU KRI yang baru ini sebagai berikut:
RAS – BANGSA - WARGANEGARA
Terlebih dahulu penulis ingin mengajak semua pihak meyakini bahwa, di republik muda seperti Indonesia ini,UU apapun tidak terkecuali UU Kewarganegaraan, dari awal proses kelahirannya, kemudian keberadaannya dan berikut praktek pelaksanaannya, selalu sepenuhnya berada dalam genggaman kehendak dan perilaku politik. Jadi, hendaknya keberadaan UU KRI baru yang menggantikan UU KRI 62/1958 ini jangan dipandang jauh dari kaca mata politik.
Pandanglah sebagai buah dari atmosfir era reformasi. Dan kalau kita membenarkan pendapat bahwa reformasi ini belumlah merupakan sebuah era yang stabil atau mantap. maka dengan itu berarti kita mengakui era reformasi ini masih dipenuhi kentalnya nuansa pro dan kontra dalam segala bidang, tidak terkecuali bidang yang pro dan yang kontra diskriminasi.
Dalam kaitan ini janganlah kita terlalu yakin dengan UU KRI baru ini, seolah praktek diskriminasi yang sebelumnya mengambil bentuk pemberlakuan SBKRI akan serta merta lenyap. Mengingat “kata bukti kewarganegaraan” yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi setan yang terus menerus menghantui komunitas Tionghoa di negeri ini justru tegas-tegas diformalkan dalam pasal 18 UU KRI yang baru ini. Sudah tentu sepanjang kita meyakini keberlakuan sebuah UU sepenuhnya bergantung pada kondisi politik yang berlaku, kita tidak perlu berkecil hati.

Mengingat letak persoalannya pada baik buruknya kondisi kehidupan politik. Jadi kalau kita menghendaki pasal UU yang tidak baik menjadi kurang baik, dan pasal UU yang baik menjadi lebih baik, maka persoalannya tinggal bagaimana kita selalu terlibat terus menerus memperkuat tumbuhnya iklim demokratisasi di negeri ini Oleh sebab itu, hendaknya kebanggaan dan kegembiraan atas UU KRI yang baru, janganlah menjadi kebanggaan dan kegembiraan total tanpa reserve. Karena dalam kaitan dengan diskriminasi yang disandang komunitas etnik Tionghoa di negeri ini tercermin nyata, di samping kenyataan tumbuh menguatnya semangat anti diskriminasi di dalam Pansus RUU Kewarganegaraan, toh sekaligus tercermin pula masih kuatnya kehendak ingin melanggengkan diskriminasi.

Faktanya adalah adanya pencampuradukan pengertian tentang ras – bangsa – warganegara - yang berakibat berperan memfasilitasi keberadaannya butir a pasal 4 BAB II , yang berunyi: Warga Negara Indonesia adalah: “setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia” dan pasal 2 BAB I yang berbunyi: “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara”.

Rumusan atas hal yang sama ke dalam dua Pasal dan dua BAB yang berbeda, jelas mencerminkan adanya tarik-menarik dua semangat atau kekuatan politik di dalam Pansus RUU KRI antara yang pro dan kontra terhadap masalah diskriminasi dalam proses pembuatan UU KRI yang baru ini. Sekaligus juga merupakan cermin gagalnya tugas kekuatan anti diskriminasi di dalam Pansus RUU Kewarganegaraan untuk menjernihkan kerancuan pemahaman masalah ras, bangsa, dan warga negara.

Bahwa sesungguhnya bagi siapapun yang tidak berkepentingan melestarikan praktik diskriminasi, niscaya cakrawala pandangnya akan jernih. Bahwa Bangsa dan Warga Negara bukanlah hal yang identik. Ketidakidentikan yang faktanya mudah dilihat pada kenyataan. Bahwa siapa pun orang yang menghendaki, yang bersangkutan bisa mengganti kewarganegaraan dirinya, akan tetapi tidak mungkin bisa mengganti kebangsaan dirinya. Di samping kenyataan, bahwa sebuah bangsa yang sama bisa menganut kewarganegaraan dua negara yang berbeda.

Seperti bangsa Jerman sebelum runtuhnya Tembok Berlin. Ada yang menjadi Warga Negara Jerman Barat di samping ada yang memilih jadi Warga Negara Jerman Timur.Demikian pula dengan sesama bangsa Korea. Ada yang memilih jadi Warga Negara Korea Selatan, di samping ada pula yang memilih menjadi Warga Negara Korea Utara. Hal yang jelas sekali menerangkan, bahwa memotivasi pertanyaan tentang apa dasarnya perumusan Pasal 2 BAB I dimaksud?
End Part 1
Start Part 2
MASALAH RAS DAN BANGSA
Ras adalah pengertian tentang ciri-ciri fisik sebuah komunitas manusia. Hal yang berkait dengan masalah genetika. Sehingga lebih merupakan bidang masalah antropologi, yang memang berkorelasi dengan pengertian asli dan tidak asli. Sedang bangsa Indonesia bukanlah ras Indonesia. Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang terintegrasikan oleh akibat kolonialisme.Sebuah gabungan atau persatuan semua suku/etnik yang menghuni seluruh wilayah administrasi bekas jajahan Belanda. Jadi bangsa Indonesia adalah pengertian sosiologis, yang kelahirannya pun lebih karena sebab faktor kebangkitan nasionalisme. Yaitu semangat membangun atau mempersatukan diri menjadi sebuah bangsa yang bertujuan agar bisa mengatur dan mengurus diri sendiri bebas dari campur tangan mandor asing mana pun juga. Jadi dalam kaitan ini tidak dikenal adanya paradigma bangsa Indonesia asli. Sehingga, keberadaan Pasal 2 BAB I yang berbunyi : ”Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan seterusnya…. adalah jelas cerminan kemenangan kekuatan politik/semangat diskriminatif di dalam Pansus RUU Kewarganegaraan.
Sementara hasil perjuangan mati-matian kekuatan politik/semangat anti diskriminasi berkaitan dengan pasal ini adalah pasal 2 penjelasan, yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘bangsa Indonesia asli’ adalah orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Pasal penjelasan yang merupakan bentuk kompromi atas kalimat “bangsa Indonesia asli” dari kekuatan politik/semangat yang pro dan kontra diskriminasi yang terdapat di dalam Pansus RUU Kewarganegaraan. Bahwa sekalipun semangat/kekuatan politik anti diskriminasi tidak berhasil menghapus kalimat “bangsa Indonesia asli” dari UU KRI yang baru, namun melalui pasal penjelasannya berhasil juga mengeliminir semangat diskriminatif dari kalimat “bangsa Indonesia asli” yang rancu tersebut.

Catatan berikutnya bertalian dengan BAB IV yang mengatur kehilangan kewarganegaraan RI. Sebagai akibat bunyi butir 2 pasal 1 BAB I tentang ketentuan umum bahwa, “Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warganegara” bukan seyogianya berbunyi bahwa: “ Kewarganegaraan adalah pengaturan hubungan timbal-balik hak dan kewajiban politik antara negara dengan warganya”, maka lahirlah butir i pasal 23 BAB IV ini. Pasal yang mengatur seseorang kehilangan kewarganegaraan Indonesianya bukan oleh sebab perbuatan politik yang dilakukannya.

Seperti diatur Pasal 23 BAB IV butir g yang berbunyi :”tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing. Atau memasuki dinas militer asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal dan bab yang sama butir d. Atau hijrah ke negara asing untuk melakukan kegiatan melawan pemerintahan RI yang sah. Melainkan semata-mata hanya oleh sebab yang bersangkutan bertempat tinggal di luar wilayah RI selama 5 tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum waktu lima tahun itu berakhir.

Sepertinya pasal ini memposisikan semua WNI yang berada di luar wilayah RI semuanya orang yang paham peratruran kewarganegaraan sekaligus orang yang memiliki keleluasaan baik waktu maupun materi, sehingga tidak seharusnya lalai. Padahal tidak sedikit WNI berada di negeri asing, jauh dari dukungan kondisi semacam itu. Contohnya mereka yang demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, terpaksa menjadi TKI/TKW yang tentunya jauh dari memiliki keleluasaan waktu maupun materi yang merupakan kendala bagi yang bersangkutan untuk dituntut bisa memenuhi ketentuan pasal ini.

Dalam pada itu, bandingkanlah ketentuan yang diatur Pasal 23 BAB IV butir i tersebut dengan kenyataan WNI yang sengaja hijrah ke negeri asing justru dengan maksud sepenuhnya untuk mengamankan dan meleluasakan kegiatan politiknya merongrong pemerintahan RI yang sah selama lebih dari lima tahun, seperti yang terjadi dengan Hasan Tiro, dkk. yang tergabung dalam apa yang mereka sebut dengan GAM. Apakah mereka tidak kehilangan kewarganegaraannya? Lalu pasal manakah dalam UU KRI yang baru ini yang disediakan untuk memberi jalan dalam hal mereka menghendaki memperoleh kembali kewarganegaraan RI? Apakah Pasal 31 BAB V tentang Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI yang berbunyi: “Seorang yang kehilangan Kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui prosedur pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 s/d Pasal 18 dan Pasal 22”?

Kalau ya, lalu bagaimana dengan kenyataan bahwa selekas ditandatanganinya MoU antara GAM dengan wakil RI, seluruh hak politik, hak hukum dan berbagai hak lainnya nyatanya serta merta semuanya telah pulih? Sementara itu sebanyak 532 mantan mahasiswa yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia akibat peristiwa 30 September 1965, yang melalui Rustriningsih, Bupati Kebumen, yang mewakili segala kepentingan mereka, kini sedang berupaya mengajukan upaya memperoleh kembali kewarganegaraan RI-nya (Media Indonesia, 14 Juli 2006) Lalu seperti apa UU KRI baru akan memperlakukan mereka? Akan dikenakan ketentuan yang diatur pasal 31 tersebut di atas, atau akan memperoleh perlakuan yang sama seperti yang diperoleh saudara-saudara kita yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka?

Semoga UU KRI yang baru dalam praktek pelaksanaannya nanti tidak mengulang perilaku UU KRI 62/1958 yang melanggar pasal 27 UUD 1945 yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga Negara Indonesia. Dimulai dengan perlakuan yang sama antara sesama warga negara yang sama-sama kehilangan kewarganegaraan RI karena faktor politik antara mereka yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka dengan mereka yang diduga terlibat peristiwa 30 September 1965.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar