Sabtu, 10 April 2010

Kewarganegaraan Tidak Berdasar


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0602/14/opi01.html

Rata Penuh
”Ras-Criterium”

Oleh
Prasetyadji

Diangkatnya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang merupakan inisiatif DPR tentang Kewarganegaraan (sebagai pengganti UU yang lama No 62/1958) dalam program legislasi tahun ini, telah membawa harapan banyak orang kepada para anggota dewan yang terhormat.
Kenapa? Karena UU No 62/1958 dinilai mengandung unsur diskriminatif, tidak mewadahi kesetaraan hak baik dari sisi gender, etnik, maupun dalam perlindungan hukum terhadap anak. Selain itu, substansi mengenai kewarganegaraan itu sendiri, perlu menghadirkan kembali suasana kebathinan para founding fathers dalam merumuskan UU tentang Kewarganegaraan pertama kali No 3/1946 sebagai salah satu syarat berdirinya negara Republik Indonesia.
Pembahasan RUU sudah dimulai antara Pansus DPR dengan Menteri Hukum dan HAM tanggal 25 Januari 2006. Dan melihat aspirasi masyarakat yang begitu antusias, para anggota DPR kiranya perlu selalu berpegang pada produk UU yang telah kita miliki, seperti UU No 39/1999 tentang HAM maupun UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, karena ada beberapa permasalahan prinsip yang perlu jadi acuan, seperti perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan antarbangsa.

Istilah Asli
Artinya, agar dalam RUU dapat diatur bahwa anak yang lahir (di manapun) dari pernikahan seorang ayah dan/atau ibu warga negara Indonesia adalah warga negara Indonesia, begitu pula terhadap setiap orang yang lahir di wilayah Indonesia, yang setelah dewasa (berusia 18 tahun) wajib menentukan sendiri kewarganegaraannya.
Hal ini sejalan dengan Pasal 5 UU Perlindungan Anak No 23/2002 yang secara tegas menyatakan ”setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”; demikian pula Pasal 14 dikatakan bahwa ”setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.
Masalah ini sungguh penting, karena menyangkut nasionalisme, harga diri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, sehingga jangan sampai darah daging dari seorang warga negara Indonesia menjadi warga negara asing di negara sendiri. Dan apabila ini terjadi, berarti tidak ada kesetaraan terhadap gender di republik ini.
Sebagai bangsa yang memiliki budaya dan sejarah perjuangan dalam mencapai kemerdekaan, maka RUU ini perlu memberikan penghargaan kepada para pendiri bangsa dengan tidak melupakan kemajemukannya sebagaimana memahami suasana kejiwaan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Untuk itu, terkait dengan desakan dari berbagai pihak agar dihilangkannya istilah asli dalam pengertian siapa warga negara pada RUU Kewarganegaraan tersebut perlu mendapat perhatian bersama.
Karena dalam perkembangannya, istilah asli sudah bergeser pada konotasi diskriminasi, berbagai perilaku termasuk penyelenggara negara pun memberikan konotasi rasis.
Nilai Moral
Desakan ini tentu bukan tanpa alasan, tetapi justru mengingatkan kembali kepada suasana kebathinan dalam sidang BPUPKI ketika Soemitro Kolopaking dan anggota lainnya keberatan dicantumkannya istilah asli dalam UU tentang Kewarganegaraan yang pertama kali No 3/1946 apabila tujuannya pendekatan rasis, karena yang duduk di Badan/Panitia adalah sesama Nederlandsch Onderdaan (Kaula-negara Belanda) sesuai kedudukan hukum yang berlaku ketika itu. Dengan demikian, dalam Penjelasan UU No 3/1946 ditegaskan bahwa, ”dalam UU ini (UU No 3/1946) sama sekali tidak berdasar atas ras-criterium”.
Atas dasar pemikiran tersebut, dalam pembahasan-pembahasan ke depan, para pihak diharapkan mau mengedepankan nilai-nilai moral dan mampu menjiwai semangat nasionalisme, agar RUU ini benar-benar memberi kesetaraan dan perlidungan hukum kepada sesama warga negara Indonesia.

Penulis adalah Sekretaris DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangs, anggota Koalisi Kewarganegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar