Sabtu, 10 April 2010

Kerinduan Pak Tua (ex Warga Indonesia di Rusia) ?

http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2008/06/26/opini-kerinduan-pak-tua-ex-warga-indonesia-di-rusia/
Opini
Posted by qnoyzone in humanis, politikitikin.
Tags: eks warga ri renta di rusia, gatra, hamid awaludin, opini
trackback
sumber: gatra.com — Virginia Rose (Gina) dan Abraham Lincoln (Aam), dua anak muda Parepare, kini merantau ke Rusia. Keduanya mengelana ke negeri nun di ufuk barat bumi, mengejar ilmu dan kebajikan. Dan sore itu, keduanya berjalan mengitari kota tua yang eksotis itu dan mampir di Gorky Park, taman di sisi Sungai Moskow yang terkenal.
Di Gorky Park yang menjadi arena bagi seniman Moskow menampilkan karya-karya mereka, Gina dan Aam berbaur dengan para wisatawan. Di dekat sebuah galeri lukisan jalanan, keduanya tertegun melihat seorang lelaki tua yang wajahnya teramat Melayu. Pak Tua ini juga menatap mereka. Hanya saja, Gina dan Aam tidak berani langsung menyapa, khawatir jika Pak Tua itu bukan orang Indonesia.
Tapi keraguan mereka sirna. “Anak berdua dari Indonesia?” tanya Pak Tua itu. Senyum Gina dan Aam langsung merekah. Mereka mengangguk, lalu memperkenalkan diri. “Nama saya Ambo Upe. Saya sudah hampir 50 tahun di sini,” katanya. Saking gembiranya, Pak Tua yang telah berusia 75 tahun itu mengajak mereka berjalan menyusur Gorky Park dengan setengah menyeret badan.
Pak Ambo lantas bercerita. Ia datang ke Moskow setengah abad silam untuk bersekolah. Tapi ia kemudian jatuh cinta pada warga setempat dan menikah. Jadilah ia menetap di ibu kota Rusia itu, bahkan belakangan menjadi warga negara setempat. Istrinya telah meninggal, beberapa tahun silam. Ia sendiri tak pernah pulang ke Indonesia.
Kerinduannya pada negeri leluhur hanya ia lampiaskan dengan berkirim surat kepada kerabat di Tanah Air. Tapi kini, kerabat-kerabat sebayanya sudah berpulang. Putus sudah hubungannya ke Indonesia. Karena itulah, ia begitu girang bertemu Gina dan Aam. “Kenapa Kakek tidak kembali saja ke Indonesia. Bukankah di sini tidak ada sanak saudara?” tanya Gina yang penasaran.
Pak Tua Ambo hanya menerawang sejenak, lalu menjawab, “Itu memang keinginan terbesar dan terakhir saya. Betapa inginnya menghabiskan hari-hari tua di Indonesia. Tapi di sana, saya mau makan apa? Lagi pula, saya ini orang asing, warga negara Rusia. Tentu tidak mudah berurusan dengan birokrasi di sana, apalagi saya sudah tua. Di sini, hidup saya dijamin negara. Saya menerima uang pensiun dan tunjangan sosial.”
Gina tertegun penuh iba, tapi tak bisa berbuat banyak. Untunglah ada Aam yang menemukan ide –meski tak mudah. Bagi Aam, pengalaman Pak Ambo tentu juga dialami banyak orang Indonesia yang pada saat ini tinggal di berbagai belahan bumi lainnya dan menjadi warga negara asing. “Bapak tidak sendirian. Tapi nasib dan kerinduan Bapak sebenarnya bisa dicarikan jalan keluarnya,” kata Aam.
Kendati telah mengantongi paspor negara baru, sebagai bangsa Indonesia, mereka tetap berharap, suatu saat menghabiskan hari-hari tua di Indonesia. Hanya saja, karena telah lama tercerabut dari kegiatan sosial bangsanya, mereka tak mungkin menanggalkan status WNA dan kembali menjadi warga negara Indonesia. Jika jalan ini yang mereka tempuh, tentu mereka akan sengsara karena tidak lagi berpenghasilan. Sedangkan di negara baru itu, mereka ditunjang oleh negara.
Aam pun teringat, pada saat ini Undang-Undang Keimigrasian hendak dibahas di DPR-RI. Ia mengharapkan, ada satu pasal dalam RUU itu yang kurang lebih mengatakan: untuk orang-orang Indonesia yang telah lama tinggal di luar negeri dan sudah menjadi warga negara asing dan setidak-tidaknya telah berusia 70 tahun, dibolehkan tinggal di Indonesia tanpa batas waktu dan tanpa harus mengubah status kewarganegaraan yang dipegangnya.
Lagi pula, kata Aam, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan membuka diri mengenai orang Indonesia yang telah kehilangan kewarganegaraannya dapat kembali menjadi warga negara tanpa melalui proses naturalisasi.
Pendapat Aam itu didasari tiga hal. Pertama, dari aspek kemanusiaan, Aam tahu benar pemeo hidup manusia yang dianut di banyak tempat di muka bumi: di mana manusia lahir, di situ pula ia cenderung menghabiskan masa tua dan menutup hidupnya.
Kedua, kemudahan bagi orang Indonesia warga negara asing berusia di atas 70 tahun ini membantu mereka untuk melakukan rekonsiliasi dengan keluarga besar yang lama ditinggalkan. Ketiga, dari segi ekonomi tentu menguntungkan karena orang-orang tua ini tetap menerima dana pensiun dan tunjangan sosial dari negaranya, tapi membelanjakannya di Indonesia sepanjang sisa hidupnya.
Selapis air bening tampak menjadi kabut di mata Pak Ambo mendengar uraian Aam. “Mudah-mudahan, Nak. Kalau itu bisa terwujud, sayalah orang tua pertama yang akan memesan tiket ke Indonesia,” katanya.
Pertemuan di Gorky Park itu singkat tapi sungguh membekas, bagi Gina dan Aam, juga bagi Pak Tua Ambo. Setelah berbincang panjang lebar, membagi kerinduan tentang Tanah Air, mereka berpisah. Gina dan Aam kembali berjalan menuju stasiun bawah tanah terdekat. Masih ditolehnya Pak Tua tadi yang menyeret kaki menyusuri Gorky Park di pinggiran Sungai Moskow yang tenang.

Hamid Awaludin
Pemerhati Masalah Hukum
[Kolom, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 26 Juni 2008]

2 komentar: